Friday, June 6, 2014

Wedding VS Marriage

Kemaren, gue sama R melakukan kalkulasi untuk memprediksi seberapa besar yang harus kami keluarkan untuk resepsi pernikahan dan tetek bengeknya. Tujuannya sih bikin budget, supaya nantinya udah tau seberapa besar alokasi yang harus kami keluarkan untuk setiap spot.

So far, emang gedung sama catering deh yang paling kampret. Mihil bingits. Tapi mau bilang apa, kan gak mungkin juga gue pasang tenda di depan rumah. Males banget nikah tapi disumpahin banyak orang gara-gara bikin macet. Makanya, karna sadar alokasi duit ke gedung emang tak terelakkan, yaudahlah ya, mari diikhlasin.

Bridal, cincin, photobooth, dokumentasi, undangan, gue harap sih bisa di-adjust semaksimal mungkin, supaya keluarnya nggak terlalu banyak, tapi kualitasnya tetep bagus. Oh iya, kami kayaknya nggak mau pake souvenir. Gue gak mau buang-buang uang buat barang yang 98% pasti di buang. Kalo beli souvenir yang fantastis banget juga out of budget. Jadi hanya photobooth aja. If you take a picture in our photobooth, then it will be your souvenir. Gue rasa bakalan lebih simpel, dan lebih kecil kemungkinan dibuang atau dionggokin aja tapi gak kepake.

Tapi mau diteken gimanapun dan dari sudut apapun, resepsi ini tetep aja membutuhkan dana yang nggak sedikit. Asli deh, di Indonesia, nikah (yang decent dan nggak bikin macet) itu mahaaal sekali. Parahnya lagi, masih banyak yang berpikir bahwa resepsi adalah ajang unjuk gengsi kedua keluarga. Ngutang? Biarin deeeh, gapapa! Yang penting mewah resepsinya. D'oh.

Trus, orang-orang Indonesia (or should I say, Asian?) tuh sensiii banget deh kalo nggak diundang ke kawinan. Kalo emang deket, tersinggung masih okelaah. Lah ini cuma tau nama, ketemu setaun sekali, kok nggak diundang dibilang sombong? zzz. Kalo disuruh pilih (dan dibolehin), sebenernya sih gue lebih prefer (dan suka) private wedding party. Tapi berhubung takut hubungan bokap nyokap sama banyak orang jadi rusak dan mereka akhirnya dibilang sombong, ya terpaksa gue dan R ngalah. Anggep aja kodrat, lah.

Selama ngatur budget ini, gue sering banget debat sama R. Kebanyakan karna gue shock sih, misalnya "ya ampun, bikin undangan semahal itu?", atau "IH! Masa nambah stall aja segituuuu?" sambil gigitin list harga dari catering. Cuma R yang tetep kalem. Kayaknya dia udah tau, paham, dan siap, kalo resepsi pernikahan emang akan jadi dua jam termahal dalam hidup setiap orang.

Makanya, sebagian besar gaji pokok yang dia dapet, udah sejak beberapa tahun lalu, dialokasikan untuk tabungan menikah ini. Di tengah jalan, eeeh, ketemu calon pengantin wanitanya. :")

Selalu terbersit kebanggaan di hati gue kalo inget resepsi ini adalah hasil kerja keras dari calon suami gue sendiri. Bukan papi maminya, apalagi papi mami gue (anjis, amit-amit.), tapi murni keringet dan usaha R. Resepsi kami nggak mewah-mewah amat. Nggak diadakan di ballroom hotel ternama juga. Tapi yang pasti, resepsi ini adalah yang terbaik yang bisa R berikan ke gue, ke keluarganya, dan ke keluarga gue.

And somehow it's kinda... priceless for me.

Kami nggak maksain konsep resepsi yang glamor dan mahal. Karena kami tau ini hanya pintu masuk menuju kehidupan pernikahan yang sesungguhnya. Makanya, doa yang setiap hari selalu gue aminkan sama mama adalah, "May your marriage will be even more beautiful than your wedding!"

Karena secantik dan semahal apapun resepsinya, nggak akan ada artinya tanpa kehidupan pernikahan yang damai dan bahagia. Betul? :)

2 comments:

  1. Pas baca yang soal 'asian people tendency untuk nge'cap sombong' itu gue langsung jerit kenceng dalem hati "I KNOW RIGHT????" karena aselik gue juga sempet ampe susah bobo gara-gara mikirin siapa aja yang mesti diundang, huks :(

    ReplyDelete
  2. Oliv: exactly, gue juga stress berat mikirin undangan. Serba salah nggak sih, ngundang smua duitnya gak cukup, gak diundang takut mencetuskan perang dunia. Huhuhu :(

    ReplyDelete